Ex Machina (2015). Apakah “kesadaran diri” buatan itu nyata?

ex-machina-2015

Mungkin kita sudah sering menemukan film-film dengan tema “playing god”. Dimana cerita tentang manusia yang secara angkuh, sadar ataupun tidak, mencoba mengambil alih posisi pencipta dan mendobrak batas-batas alamiahnya. Kalau mau disebutkan film-film dengan tema semacam ini, dari mulai film keluarga semacam Jurassic Park (1993), film robot penghancur legendaris Terminator (1984), sampai film futuristik semacam Transcendence (2014). Dan cerita-cerita dari tema “playing god” ini nampaknya belum usang karena potensi konfliknya yang akan selalu menarik untuk diangkat ke layar lebar.

Salah satu film yang mengangkat tema ini adalah Ex Machina (2015), dimana kemudian film ini mendapat banyak kritik positif.

 

Nathan: I programmed her to be heterosexual, just like you were programmed to be heterosexual.

Caleb: Nobody programmed me to be straight.

Nathan: You decided to be straight? Please! Of course you were programmed, by nature or nurture or both (…)

Caleb (Domnhall Gleeson) adalah seorang programer muda yang terpilih diundang datang ke tempat penelitian seorang programmer senior, Nathan (Oscar Issac). Disana Ia memperoleh kesempatan untuk membantu Nathan dalam penelitiannya yang sedang mengembangkan sistem kesadaran diri pada robotnya.

Nampaknya efek CGI dan efek-efek lainnya yang digunakan dalam pembuatan film ini patut diacungi jempol. Membuat badan Alicia Vikander menjadi setengah manusia setengah robot begitu, keren sih… Ya jadi gak aneh kalau film ini mendapat piala Oscar untuk Best Achievement in Visual Effect pada tahun 2016.

Soal cerita, jujur saja cerita ini jauh lebih rumit daripada setting filmnya. Ya, settingnya berada di tempat penelitian Nathan di sebuah tempat terpencil, dan juga hampir sepanjang cerita kita hanya akan bertemu dengan empat aktor. Awalnya saya berpikir mungkin ini akan berjalan seperti film-film scientific, namun seiring berjalannya cerita, film ini mulai masuk ke wilayah filosofisnya.

Pada tengah film mungkin penonton akan nyaris terbawa seperti Caleb, berharap Ava (Alicia Vikander), si robot, akan memiliki perasaan seperti layaknya manusia. Namun, peran Nathan seperti menarik kembali penonton pada pola pikir yang masuk akal. Begitu terus, tarik menarik antara pikiran logis dan perasaan, sampai pada satu titik semuanya terungkap. Dan menyadarkan bahwa mungkin ada baiknya kita tidak bersandar pada satu sisi saja, entah logika saja atau hanya perasaan. Lebih jauh, cerita pada film ini membuat penonton berpikir ulang apakah sistem kesadaran diri buatan itu memang dapat dibangun ataukah hal tersebut hanya kamuflase belaka.

 

P.S. : Mungkin kalau di film ini gak ada Oscar Issac-nya , saya gak akan tahu film ini nih hehehe… Maklum ye, gara-gara Star Wars kemaren sih, Poe Dameron nya kece bgt hahaha…

Movie contain note: film ini berisikan sedikit nude scene. Biar gak awkward aja kalau tiba-tiba nontonnya bareng mama gitu 🙂


Detail:

Gendre: Sci-Fi, Drama

Rate (MPAA): R

Running time: 108 minutes

Language: English

 

Producer: Andrew Mcdonald, Allon Reich

Written: Alex Garland

Director: Alex Garland

Cast: Domnhall Gleeson, Oscar Issac, Alicia Vikander, Sonoya Mizuno, Corey Johnson

Cinematography: Rob Hardy

Music: Ben Salisbury, Geoff Barrow

Editor: Mark day

Production: Film4, DNA Films, Universal Pictures

 

Tinggalkan komentar