Banda: The Dark Forgotten Trail (2017)

 

Banda

Jujur saja, promosi tentang film Banda memang tidak terlalu ramai. Saya bahkan mengetahui film ini justru ketika sedang mencari info tentang film Wiro Sableng. Pertama kali melihat poster teasernya, saya tidak menyangka ini adalah film dokumenter, pokoknya tidak ada bayangan ini film apa, tapi yang pasti film ini memancing keingintahuan saya.

Ketika film ini rilis beberapa hari yang lalu, dan ulasannya mulai bermunculan, saya pikir boleh juga sekali-kali nonton film dokumenter punya Indonesia.

Menjelang hari raya kemerdekaan, rasanya Banda memang pas sebagai film yang dapat  mengingatkan kita akan asal usul bangsa ini. Seringkali film-film kemerdekaan mengangkat cerita melawan penjajah atau cerita-cerita tokoh perjuangan. Banda menawarkan sisi lain Indonesia yang mungkin sering luput dari buku-buku sejarah, mengemasnya dalam dokumenter yang menyadarkan kita betapa berharganya Nusantara dan posisi Indonesia sekarang.

Film Banda bercerita tentang pulau-pulau di sekitar Laut Banda yang banyak menjadi “setting” pergolakan dunia dan perubahan sejarah. Dari mulai menjadi tanah yang diperebutkan hingga menjadi tanah tempat pembuangan para tahanan politik.

 

Gothic, Old and Mystical

Film dokumenter biasanya identik dengan film yang membosankan. Penuh narasi yang “text book”. Banda berbeda, film ini dirangkai dengan mosaik-mosaik gambar yang cantik namun suram. Menggambarkan betapa tempat ini pernah suram dan berdarah-darah karena perebutan kekuasaan atas tanah yang diatasnya melimpah ruah kebun pala dan berbagai rempah-rempah. Tidak hanya itu, potret-potret monumen kemegahan penguasa yang lekang oleh waktu juga tergambar dengan gambar-gambar benteng yang penuh corat-coret. Ya, setiap gambar pada dokumenter ini menjelaskan sesuatu yang tersirat, yang lebih baik dirasakan ketimbang diceritakan lewat narasi.

Meskipun begitu, ada kalanya mosaik-mosaik gambar terlalu mendominasi dan lepas, sehingga saya menanti narasi lanjutannya untuk kembali ke jalur cerita. Tapi mungkin bagi penggemar film-film ekperimental hal ini tidak masalah, malah menambah daya tarik.

Untuk mendukung terbangunnya suasana, film ini juga menyuguhkan paduan musik yang grande dan cukup meneror di beberapa bagian scene. Begitupula animasinya, salah satu yang paling saya suka di dokumenter ini, hingga pada beberapa bagian awal film ini saya hampir berharap ini menjadi film aksi-kolosal, pasti seru.

 

Banda dan Refleksi Diri Indonesia

Selain bercerita tentang kisah-kisah masa lalu, film ini juga menampilkan Banda di masa kini. Cerita ini sesungguhnya seperti cermin bagi Indonesia sekarang. Masyarakat multikultural yang sebenarnya melekat di diri orang-orang Banda. Bahkan berbaurnya berbagai kultur dan etnis itu justru melahirkan sebuah identitas baru bagi mereka, Orang Banda, begitu mereka menyebut dirinya.

Uniknya lagi, refleksi diri sebagai bangsa Indonesia ini dipercikan dari cerita sebuah tempat di timur sana, yang pulau-pulaunya dikelilingi laut lepas, dan hanya terdengar sayup-sayup di kota-kota metropolitan. Sungguh menohok!

Jadi ada bagusnya juga menonton film ini dalam euforia hari raya kemerdekaan. Tentu saja selain rasa bangga, ada juga refleksi diri yang didapat.

 

This movie in words: Fresh


Detail

Gendre: Dokumenter

Rating (LSF): Semua Umur (SU)

Running Time: 94 minutes

Language: Bahasa Indonesia

 

Producer: Sheila Timothy

Director: Jay Subiakto

Writter: Irfan Ramli

Narrator:  Reza Rahadian (Bahasa Indonesia), Ario Bayu (English)

Director of Photography (DoP): Ipung Rahmat Syaiful

Music Composer: Lie Indra Perkasa

Editor: Aline Jusria, Cundra Setiabudhi, Syauqi ‘Bimbo’ Tuasikal

Production: Lifelike Pictures

Tinggalkan komentar