Athirah (2016)

athirah-2016

Ada tren di Indonesia tentang film biopik atau berdasarkan kisah tokoh-tokoh dibuat saat ini. Tidaklah aneh jika tema ini menjadi hangat karena nyatanya respon yang muncul sangat baik dari penonton. Kalau dilihat dari jumlah penonton, film dengan tema yang diadaptasi berdasarkan kisah tokoh, Habibie & Ainun (2012) mendapat respon yang luar biasa. Film ini dapat menjaring 4 juta penonton (4 juta penonton itu luar biasa untuk ukuran film Indonesia yang hanya menayangkan filmnya di dalam negeri). Hasil yang luar biasa ini kemudian membuat tema kisah tokoh ini menjadi subur. Hal ini dilihat dari munculnya sekuel dari film tersebut yang promosikan secara masif (dan glamor, eit… gak salah loh, sah-sah aja). Habibie & Ainun hanya menjadi salah satu contoh saja bagaimana tema kisah tokoh kini mempunyai daya tarik untuk dijadikan film.

Dengan beragam film biopik yang muncul (sebut saja begitu, meskipun kadang-kadang film-film ini tidak secara menyeluruh bercerita sesuai dengan riilnya), kadang-kadang saya merasa jenuh juga. Hampir film biopik yang tayang mempunyai formula serupa. Glorifikasi cerita, tokoh yang didramatisir, nasionalisme… hingga seringkali justru tujuan dari cerita film tersebut jadi tidak jelas.

Sampai suatu hari, ketika sedang main twitter saya menemukan berita tentang film Athirah yang saat itu diberitakan akan ditayangkan di Tokyo International Fim Festival. Sungguh, saya kira ini awalnya film tentang kisah-kisah anak lokal di Indonesia (meskipun nyatanya memang begitu, cuma kebetulan si anak ini kini menjadi tokoh). Penasaran juga pas liat orang-orang dibelakang film ini, hmm… menjanjikan. Makin penasaran lagi karena promosi film ini juga tidak besar-besaran (saya rasa, hehe), karena tidak semua bioskop menayangkan memang.

 

Athirah (2016) bercerita tentang seorang perempuan Bugis yang pada suatu ketika harus menghadapi takdirnya saat mengetahui bahwa suaminya menikah lagi. Menghadapi masalah rumah tangga dengan cara-cara pada zamannya, membuat Athirah (Cut Mini) justru tampak semakin kuat dan elegan tanpa harus terlihat menggebu-gebu dan meninggalkan tata kramanya sebagai perempuan Bugis.

Bagi saya, film Athirah ini menarik perhatian. Ketika banyak film biopik begitu fokus pada si tokoh besar, namun film ini justru bercerita tentang orang yang hidup dibalik tokoh tersebut. Sehingga untuk saya, tujuan cerita film ini jelas betul, cerita tentang seorang ibu, seorang istri; tentang hubungan seorang perempuan dengan keluarganya, tentang hubungan seorang ibu dengan anak laki-lakinya.

Film ini lebih banyak berbicara melalui gestur ketimbang dialog. Dialog yang ditampilkan pun cukup luwes, sehingga tidak ada percakapan yang kepanjangan dan penuh drama di film ini. Kelebihan dari penggunaan gestur sebagai cara penceritaan membuat setiap scene lebih efisien, gak perlu panjang-panjang, tapi penonton sudah menangkap maksud cerita bahkan membawa suasana lebih dalam. Namun film dengan mengandalkan gestur begini, kita akan lebih kesulitan memahami jika tidak memperhatikan detail adegan tersebut. Meskipun hal ini tidak terlalu mengganggu.

Satu poin yang sangat saya apresiasi pada film ini adalah inti ceritanya tidak “lari”. Kadang-kadang ada film yang demi menambah daya pikat justru memasukkan hal-hal tidak penting (bahkan tidak nyambung) kedalam filmnya. Film Indonesia sering banget begitu. Tapi pada film ini, Athirah adalah sentral cerita, dan begitu sampai akhir. Meskipun didalamnya ada cerita percintaan Ucu (Christoffer Nelwan) dan Ida (Indah Permatasari), namun bagian tersebut tidak kemudian mencuri alur dari inti cerita.

Film Athirah juga memberi suasana segar bagi tema biopik, bahwa film biopik tidak harus menggebu-gebu dan berapi-api untuk menggambarkan keistimewaan tokoh tersebut. Sebagaimana Athirah, film ini pun “terasa” lembut, feminin, namun seiring berjalannya cerita, kekuatannya muncul secara elegan.

 

Athirah dan Kain-kainnya

Kalau kita menonton film ini akan banyak dijumpai kain dan sarung yang menjadi ciri khas dari masyarakat dimana Athirah hidup. Kain-kain Sengkang ini tidak hanya menjadi pemanis layar, namun juga memiliki makna dalam masyarakat dan kehidupan Athirah.

Kain Sengkang menjadi pemantik harapan disaat Athirah berada dimasa-masa bimbang. Kain Sengkang menggerakan Athirah, tidak hanya dari segi ekonomi, tapi juga kekuatannya. Diantara kain-kain ini Ia melepas bimbang dan sedihnya, mengalihkan perasaan-perasaan negatif itu pada kain-kain yang menjadi identitas perempuan Bugis tersebut. Kain-kain ini menambah cantik proses lepas landas Athirah dalam menghadapi masalah hidupnya. Jadi kalau dibilang kain-kain ini ditampilkan hanya untuk tujuan promosi “visit Indonesia”, salah banget. Karena nyatanya kain-kain ini memang bagian dari cerita yang tidak bisa dipisahkan.

 

P.S.: Film biopik “lembut” semacam ini mengingatkan saya pada Lincoln (2012) yang disutradarai Steven Spielberg. Dan itu film bagus. One of my favorite biopic movie. Hehehe…

Dan oiya, Pak JK gak usah protes atau khawatir sama film ini, filmnya bagus Pak… ( gara-gara sempet baca-baca sedikit artikel dari portal berita online)

Satu lagi, soundtrack film ini juga bagus. Dengerin yah 🙂


Detail

Gendre: Biopic, Drama

Rating: R 13+ (LSF)

Durasi: 81 menit

Bahasa: Bahasa Indonesia, Melayu Makassar

 

Produser: Mira Lesmana

Sutradara: Riri Riza

Penulis Skenario: Salman Aristo, Riri Riza. Adaptasi dari novel Alberthiene Endah

Pemeran: Cut Mini, Christoffer Nelwan, Arman Dewarti, Jajang C. Noor, Indah Permatasari, Nino Prabowo, Tika Bravani, Andreuw Parinussa

Penata Musik: Juang Manyala

Penata Sinematografi: Yadi Sugandi

Editor: W. Ichwandiardono

Produksi: Miles Films

Tinggalkan komentar